Autentik.id,Hukrim – Insiden penarikan paksa kendaraan sepeda motor milik warga oleh oknum debt collector yang mengatasnamakan FIF, mendapat kecaman kalangan masyarakat. Tak sedikit yang menilai tindakan oknum “Mata Elang” patut untuk dipidanakan.
Menanggapi itu, praktisi hukum Pohuwato, Ajin Niode, menjelaskan, baik Finance selaku pemberi kredit serta Debt Collector (DC) tidak dapat menarik paksa kendaraan nasabah meskipun menunggak pembayarannya.
Karena, kata Dia, kewenangan terkait sita jaminan suatu barang adalah kuasa pengadilan berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal, 6 Januari 2020.
“Jelas dalam putusan MK tersebut menyatakan bahwa perusahaan pembiayaan harus terlebih dahulu meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri sehingga bisa menarik objek jaminan fidusia. Tidak bisa finance melakukan eksekusi sendiri atau sepihak,” ujar Ajin, Jumat (5/7/2024).
Selanjutnya, jika pihak Finance berdalih harus menggunakan jasa DC melalui perusahaan yang sudah bersertifikasi profesi DC, maka sepatutnya, kata Ajin, DC harus berpedoman pada ketentuan sertifikasi tentang tata cara penagihan kepada nasabah, sebagaimana di tekankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Jika jasa DC yg di gunakan oleh Finance dengan secara paksa mengambil barang kreditan ataupun menggunakan kekerasan maka jelas sanksi pidannya yakni Pasal 365 dan Pasal 378 KUHP serta Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” tegasnya.
Ihwal insiden yang dialami masyarakat Popayato belum lama ini, kata Ajin, jelas debitur menyampaikan ada upaya penghadangan dan dipaksa menandatangani surat yang pihak debitur sendiri tidak mengetahui apa yg di tandatangani.
“Apalagi ini sudah masuk angsuran terakhir,” tambahnya.
Kaitan Perjanjian fidusia, juga dijelaskanya, adalah perjanjian utang piutang (kreditur kepada debitur) yang melibatkan penjaminan, dimana jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.
Apabila transaksi tidak ada Akta Notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia maka secara hukum perjanjian fidusia tersebut tidak memiliki hak eksekutorial dan dapat dianggap sebagai utang piutang biasa, sehingga perusahaan leasing tidak berwenang melakukan eksekusi, seperti penarikan kendaraan.
“Dan itu jelas tertuang dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,” tegasnya.
Selain itu, disamping eksekusi yang dilakukan harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Lanjutnya, eksekusi haruslah dilakukan oleh badan penilai harga yang resmi atau Badan Pelelangan Umum.
“Apabila terjadi penarikan kendaraan oleh pihak leasing tanpa menunjukkan sertifikat jaminan fidusia, itu merupakan perbuatan melawan hukum,” ujarnya.
Pun dengan Kementerian Keuangan, yang telah menerbitkan peraturan yang melarang leasing menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak pembayaran kredit kendaraan sebagaimana tertuang dalam Permenkeu No.130/PMK.010/2012.
“Jika pihak Leasing (FIF) beralibi tidak mengetahui atas insiden tersebut Pertanyaannya, Apakah pihak leasing pasrah atas kehilangan unit? Yang jelas-jelas unit tersebut masih sebagian kepemilikan dari pihak Leasing. Menurut saya alibi leasing itu tidak masuk akal,” tambahnya.
Jika benar, pihak leasing tak mengetahui apa yang dilakukan oknum DC, maka menurutnya Leasing harusnya melaporkan insiden tersebut karena menghilangkan unit jaminan.
“Nah, berani ngak leasing melaporkan DC atas insiden tersebut? Tentang pencatutan nama FIF terhadap penarikan unit,” ujarnya.
Namun, disesalkannya, jika Debitur yang membuat kesalahan, semisal dengan sengaja mengalihkan, menjual, atau menggadaikan unit yg masih berangsur, maka pihak leasing dengan berbagai cara melakukan pencarian unit tersebut, bahkan tak jarang mempidanakan si debitur atau menggugat perdata.
“Tujuannya hanya tidak lain agar unit harus kembali, Karena merasa unit tersebut sebagian masih atas kepemilikannya. Nah kaitan insiden belum lama ini, berani ngak mereka (leasing) bersama-sama dengan debitur mempidanakan DC,” tutupnya.
Penulis : Riyan Lagili