Layanan kesehatan di RS Bumi Panua dan Puskesmas Marisa, Kabupaten Pohuwato, menyimpan kisah pilu bagi keluarga Kadir, yang berada di Desa Buntulia Utara, Kecamatan Buntulia. Tak jauh dari Pusat Kota Marisa, sebuah keluarga kurang mampu itu harus menerima kenyataan pahit setelah nyawa anggota keluarga mereka, Mohamad Kadir, tak tertolong. Diduga karena lambanya penanganan medis bahkan mendapat penolakan Rumah Sakit Bumi Panua dan Puskesmas Marisa dengan alasan ruang perawatan penuh.
Riyan Lagili – Marisa
Sejumlah awak media mendatangi kediaman Mohamad Kadir (64), pasien yang akhirnya dinyatakan meninggal dunia di RSTN Boalemo pada Rabu (4/12/2024). Disana, dengan suasana duka yang menyelimuti, keluarga bergantian bercerita awal mula Mohamad Kadir mulai mengeluh sakit tak tertahan dibagian bahu, pada Selasa (3/12/2024).
Dengan keluhan sakit bahu kanan dan nafas yang mulai tersengal – sengal, pria paruh baya itu meminta agar segera dilarikan ke rumah sakit. Bersama adiknya, hari itu Mohamad dibawa ke rumah sakit dengan harapan segera mendapat penangan secepatnya.
Sayang, tetiba di RS Bumi Panua, pasien yang belum dilakukan pemeriksaan justru diminta oleh salah satu petugas medis untuk dibawa terlebih dahulu ke Puskesmas Marisa.
“Katanya maaf so full ruangan. Jadi tidak sempat periksa. Katanya kalau boleh ke puskesmas saja dulu,” ujar Rahim menirukan perkataan salah satu petugas. Tak ada upaya lebih lanjut selain menawarkan untuk berobat di Puskesmas terdekat.
“Kan aneh masa RS rujuknya ke Puskesmas. Padahal ada keluarga pasien disitu datang bilang masih ada tempat kosong di dalam,” imbuhnya.
Khawatir dengan kondisi saudaranya, Rahim pun meminta agar Mohamad segera dibawa ke Puskesmas Marisa terlebih dahulu menggunakan sepeda motor. Setibanya di Puskesmas, kondisi Mohamad Kadir kian parah. Bahkan saat berjalan menuju IGD Puskesmas, langkah pria paruh baya itu mulai sempoyongan.
Disitu keluarga mulai panik, namun lagi-lagi, pihak Puskesmas hanya mempertanyakan siapa yang menyuruh pasien RS di rujuk ke Puskesmas sedangkan kondisi ruangan di Puskesmas juga terisi penuh. Beruntung, kata Rahim, ada Security yang mempersilahkan saudaranya itu masuk dulu.
Tak sampai disitu, Mohamad yang mulai hilang kesadaran belum juga mendapat penanganan dengan alasan sedang melayani pasien lain.
“Pas di kursi masih lama dorang (petugas) tangani. Katanya sabar masih ada ba tangani pasien lain. Pasien lain itu tidak terlalu parah sementara ini om so gawat, so tidak sadar,” ungkap Keluarga lainya.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Mohamad dirujuk ke RSTN Boalemo. Namun harus membayar biaya penggunaan mobil ambulance sebesar 350 ribu.
“Di Puskes mo pake ambulance, dorang masih minta biaya untuk bensin itu 350,” Ujar ponakan Mohamad.
Di RSTN Boalemo, pasien sempat dilakukan penanganan intensif, hingga akhirnya meregang nyawa pada Rabu (4/12/2024) dini hari karena mengalami henti jantung dan sesak nafas. Tak lama darisitu jasad Mohamad dipulangkan ke rumah duka menggunakan ambulance milik RSTN dengan biaya Rp. 10.000/Km jika melayani luar Kabupaten.
Kisah kehilangan Mohamad Kadir, bagi keluarga menggambarkan kelamnya kenyataan layanan kesehatan di RS Bumi Panua maupun di Puskesmas Marisa. Keluarga yang tak mampu secara finansial, tak pernah membayangkan bahwa penolakan rumah sakit dengan alasan ‘ruangan penuh’ akhirnya merenggut nyawa orang yang mereka cintai.
Keluarga, dengan terisak menceritakan betapa mereka merasa terabaikan. Tak beroleh penanganan selayaknya pasien.
“Mungkin karena torang tidak naik Oto, cuma pakai BPJS. Tapi setidaknya ada penanganan dulu kan. Ini macam dorang (RSBP-Puskesmas) baku opor akan,” ujar salah satu anggota keluarga dengan terisak.
Sementara itu, dalam konferensi Pers yang digelar Jumat (6/12/2024), pihak RSBP mengklaim bahwa tidak ada penolakan terhadap pasien Mohammad Kadir, hanya saja petugas jaga meminta yang bersangkutan ke Puskesmas lantaran kondisi ruang penanganan penuh.
“Saya tidak ingat persis jam berapa pasien yang diberitakan itu datang. Yang jelas ada beberapa pasien yang datang, itu saya sudah jelaskan. Kebetulan yang saya ingat persis ada dua bapak jalan datang sendiri, masuk, sempat ditanya kenapa, saya perkenalkan nama saya, sudah memohon maaf. Saya pe keadaan UGD begini full, tidak ada tempat tidur lagi, adanya kursi dan ada pasien ibu-ibu waktu itu duduk disitu mo ba priksa dengan keluhan sakit ulu hati,” ungkap dr. Lisa selaku dokter jaga waktu itu.
Kata Dia, tidak dilakukan penanganan lebih lanjut lantaran saat coba ditanyai keluhannya, pasien tersebut menjawab sakit tangan dan dinilai tidak ada indikasi kegawatdaruratan terhadap pasien.
“Tidak ada kegawatdaruratan saya lihat karena pasien jalan berdua, tidak dipapah, makanya saya so bilang, berapa pasien datang diarahkan ke Puskesmas. Karena saya juga tidak mo ba trima pasien yang cuma duduk, karena pengalaman saya menerima pasien duduk ketika 10 menit ditangani kemudian marah-marah. Sedangkan semua penuh dan bapak yang satunya lagi bawa dia keluar dari UGD,” ungkapnya.
Disinggung soal SOP penanganan pasien tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, dirinya menjawab hal itu dilakukan lantaran dari pengamatan dokter jaga bahwa yang bersangkutan tidak menunjukkan tanda-tanda kegawatdaruratan.
“Namanya saja Unit Gawat Darurat. Seperti apa saya menilai Gawat Darurat itu tampilan pasien. Tidak mungkin jika pasien dengan penurunan kesadaran saya tolak, dan perkiraan saya saat itu. Kalau saya terima bapak itu dalam keadaan duduk dan tiba-tiba jatuh, berita pasti beda lagi. Dan sangat salah saya kalau menerima pasien dalam keadaan duduk di kursi. Karena di aturan tidak ada pasien duduk di kursi,” ungkapnya.
“Sementara dalam kedaruratan itu pasien harus butuh tidur, dalam posisi yang benar-benar dia itu. Kita mendiagnosa itu harus lakukan pemeriksaan-pemeriksaan dulu, saya harus tegakan dengan penunjang dulu. Karena diagnosa pasien tidak hanya dengan melihat pasien,” pungkasnya. ***